
SISWA MERDEKA, GURU MERDEKA, DAN KURIKULUM MERDEKA
Oleh: Jasman, S.Pd.Ekop., M.Pd.
Kepala SMA Negeri 1 Lepar Pongok
Tulisan ini mulai dengan sebuah kutipan dari al-Qur’an Surat At-Tiin ayat 4. Melalui ayat tersebut, Islam mengajarkan bahwa setiap manusia diciptakan dalam keadaan terbaik. Dalam arti, setiap bayi yang lahir di muka bumi ini memiliki kelebihan dan spesialisasi masing-masing. Tidak ada manusia yang diciptakan dalam keadaan tidak bermanfaat.
Selanjutnya, dalam konteks pengetahuan, penulis ingin mengutip Teori Multiple Intelegences oleh Howard Gardner. Gardner menyebutkan bahwa pada prinsipnya setiap anak memiliki kemampau atau kecerdasdasan masing-masing. Teori Kecerdasan Majemuk menteorikan ada 8 (delapan) macam kecerdasan dasar yang ada pada manusia; kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis-logis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan natural.
Setiap orang memiliki bakat dan potensi masing-masing. Seorang yang kemampuan matematikanya rendah tidak bisa dikatakan sebagai siswa bodoh. Barangkali, Ia memiliki kecerdasan lain di luar kecerdasan matematis-logis. Begitu pula sebaliknya, anak yang memiliki kecerdasan matematis yang tinggi belum tentu ia “pintar” pada kompetensi lainnya, seperti seni, linguistik, dan kecerdasan lainnya.
Teori Kecerdasan majemuk Gardner ini kemudian dikembangkan kembali oleh Thomas Amstrong, Seorang Pakar Kecerdasan Majemuk dari Amerika. Dalam teorinya, Amstrong mengatakan “Semua anak adalah anak yang berbakat. Tiap-tiap anak telahir ke dunia dengan potensi yang unik, yang jika dipupuk dengan benar, dapat turut memberikan sumbangan bagi dunia yang lebih baik. Tantangan terbesar bagi orang tua dan guru adalah menyingkirkan batu besar yang menghalangi ajaln mereka dalam menemukan, mengembangkan, dan merayakan anugerah yang mereka miliki itu.”
Thomas Amstrong menguatkan teori sebelumnya bahwa setiap anak memiliki bakat dan potensi masing-masing. Jika bakat-bakat tersebut dikembangkan, maka akan menjadi potensi yang positif bagi kehidupan masa depannya. Sebaliknya, jika bakat tersebut tidak tereksplorasikan secara maksimal, maka akan menjadi suatu potensi negatif bagi masa depannya. Hal ini terjadi karena anak-anak merasa kesulitan dalam belajar sehingga timbul kesan dipaksakan untuk mengembangkan “suatu yang tidak ada” dalam dirinya. Berkembang atau tidaknya bakat tersebut tergantung bagaimana orang tua, guru, dan sekolah memahami dan memfasilitasinya. Jika orang tua, guru, dan sekolah mampu mengeksplorasinya dengan baik, maka bakat tersebut akan menjadi potensi positif dan akan menjadi asset bagi perkembangan anak tersebut.
Guru, sebagai salah satu aspek penting dalam pengembangan kecerdasan setiap anak didiknya. Guru harus mampu memberikan layanan pendidikan (baca: pembelajaran) kepada peserta didik sesuai dengan potensinya. Guru harus mampu memahami heterogenitas atau keberagaman potensi anak didiknya yang ada dalam kelasnya. Karena pada dasarnya, setiap anak memiliki kecerdasan, bakat dan potensi masing-masing.
Masalah yang lazim muncul dalam pembelajaran di kelas, guru menerapkan satu gaya pembelajaran bagi selurah anak didik di kelasnya. Setiap anak diberikan pola pembelajaran yang sama. Anak yang berbakat di bidang musik, misalnya, diberikan pola pembelajaran dengan anak yang berbakat di bidang linguistik. Anak yang berbakat pada bidang olahraga mengikuti pembelajaran yang sama dengan anak yang pintar matematika. Padahal, belum tentu setiap siswa memiliki gaya belajar yang sama.
Ironisnya lagi, ada guru yang terkesan memaksa setiap anak harus memiliki nilai yang besar pada setiap pembelajaran. Sehingga, anak didik yang berbakat di bidang olahraga “terpaksa” mengejar nilai matematika tinggi. Walaupun mata pelajaran tersebut tidak disenanginya.
Pola pembelajaran seperti ini dilakukan oleh guru karena ingin menyesuikan dengan tuntutan kurikulum. Guru terkesan tidak merdeka. Guru dipaksakan menjalan amanah kurikulum, apapun itu bentuknya. Sehingga keinginan guru untuk mengembangkan potensi anak didiknya tidak terlaksana secara optimal.
Sudah seharusnya guru diberikan keluasan dalam pembelajaran. Guru tidak dikurung dengan kompleksnya administrasi pembelajaran. Guru harus “merdeka” dari jebakan kurikulum. Guru merdeka adalah guru yang mampu mengelaborasikan kompetensinya dan potensi siswa menjadi sebuah produk pendidikan yang berdaya saing.
Kurikulum Merdeka
Berkaca pada trackrecord pendidikan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Pemerintah mulai membenahi kekurangan-kekurangan tersebut. Saat ini, kurikulum sekolah di Indonesia sudah mulai kembali ke khittah-nya. Konsep pendidikan yang digaungkan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, di awal mulai diaplikasikan kembali.
Kurikulum merdeka adalah kurikulum yang dimaksud. Kurikulum ini diberlakukan sebagai penyempurnaan kurikulum sebelumnya, Kurikulum 2013. Kurikulum merdeka melanjutkan kurikulum prototipe. Yaitu kurikulum yang diujicobakan selama satu tahun terakhir di beberapa sekolah (baca: sekolah penggerak) .
Kurikulum merdeka dibangun di atas landasan filosofis yang diajarkan Ki Hajar Dewantara. Kurikulum merdeka menganut azas bahwa pembelajaran harus bebas, yaitu harus memberikan kebebasan kepada guru dan siswa untuk menerapkan materi yang esensial dan fleksibel sesuai dengan minat, kebutuhan, dan karakteristik dari peserta didik. Menurut KHD, pembelajaran yang tidak menyesuaikan gaya belajar siswa secara tidak langsung akan mematikan kreativitas siswa.
Mengutip Buku Saku Kurikulum Merdeka Kemdikbud, Kurikulum merdeka diberlakukan untuk mengatasi krisis pembelajaran yang selama ini terjadi di Indonesia. Hal ini merupakan kesimpulan sebuah penelitian yang dilakukan terhadap pendidikan di Indonesia. Kurikulum merdeka menginginkan sekolah sebagai tempat belajar yang aman, inklusif, dan menyenangkan.
Dengan diberlakukannya kurikulum merdeka ini, penulis memiliki beberapa harapan;
Hendaknya perubahan kurikulum ini tidak mempertegas kesan “ganti menteri ganti kurikulum.” Artinya, penulis berharap perubahan kurikulum ini sudah melalui mekanisme dan kajian yang komprehensif. Sehingga, sekolah-sekolah tidak menjadi kelinci percobaan kurikulum dan tidak terjadi malpembelajaran.
Sekolah hendaklah mampu mengimplementasi filosofi kurikulum merdeka ini secara holistik (menyeluruh), baik dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum. sekolah menjadi tempat belajar yang aman, inklusif, dan menyenangkan. Terlepas dari level apapun itu, baik sekolah penggerak, pelaksanaan IKM level 1, Level 2, maupun Level 3.
Hendaklah pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sekolah mampu memfasilitasi guru mengembangkan kompetensinya pada spesifikasi kurikulum merdeka. Misalnya, program-program diklat bagi guru sangat penting dalam mendukung implementasi kurikulum merdeka.
Guru-guru harus mampu mengimplementasi pembelajaran sebagaimana amanah kurikulum. Guru melaksanakan pembelajaran yang aman, inklusif, dan menyenangkan. Pada kurikulum merdeka, guru harus melaksanakan pembelajaran yang berpihak pada kebutuhan siswa. Misalnya menyusun perangkat pembelajaran yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa, melakukan asesmen diagnosis untuk menginventarisir keberagaman potensi siswa.
Wallahu a’lam