PROBLEMATIKA MENJADI SEORANG GURU

Oleh: Junila Wati, S.Pd.

Menurut UUD NO. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, pengertian guru adalah tenaga pendidik profesional yang memiliki tugas utama untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Suatu sisi yang sangat positif jika menjadi seorang guru kerena memiliki kemampuan dalam memberikan ladang ilmu kepada siswa untuk mencapai cita-cita di masa yang akan datang.

Tepatnya 3 Juli 2013 sampai dengan hari ini saya menjadi seorang guru, selama itupula kebanggan yang luar biasa bagi saya. Di mana saya bisa mengabdikan diri untuk memberi ilmu yang saya miliki serta mendidik mereka seperti anak sendiri dengan penuh kasih sayang tanpa mebeda-bedakan suku, agama, ataupun ekonomi.

Namun menjadi guru adalah suatu pilihan yang benar-benar membutuhkan komitmen yang luar biasa. Sebagai seorang guru kita harus mengajar di depan siswa yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan merupakan anak orang lain yang harus kita didik. Sebagai seorang guru harus memberikan contoh-contoh yang baik, mengajarkan hal-hal  positif untuk menciptakan para siswa yang berkualitas baik secara akademik maupun karakter. Menjadi guru bukan perkara yang mudah, karena guru harus pandai-pandai memainkan peran. Menjadi aktor dan aktris yang hebat, dimana ketika guru ada masalah, sedang sakit ataupun hal yang lainnya guru harus tetap tersenyum dan tegar dalam memberikan pembelajaran yang terbaik.

Suatu kepuasan tersendiri yang bisa dirasakan ketika seorang guru mamapu dalam mengubah sikap dan prilaku siswa yang kurang baik. Di samping itu guru sering dihadapkan kondisi dimana guru harus sabar dalam menghadapi siswa yang nakal, bolos, tidak mengerjakan tugas, melawan, merokok dan karekter-karakter yang kurang baik lainnya. Ketika menjadi seorang banyak hal yang dirasakan dimana kita meberikan segala ilmu yang di miliki kepada siswa dengan penuh ketulusan dan keiklasan, namun sering sekali ketulasan itu di belas dengan kepahitan yang luar biasa di mana mereka menunjukkan karakter yang dapat membuat hati kita sebagai seorang guru menjadi terluka dengan sikap-sikap yang tidak sopan.

Belum lagi dengan sikap orang tua siswa  yang ketika diajak berkalaborasi dalam membina dan membimbing, tidak sedikit orang tua menolak untuk berkalaborasi salah satu contohnya adalah ketika diberikan undangan untuk hadir keseklolah dalam menyelasaikan permasalahan yang dihadapai siswa, orang tuanya tidak pernah mau untuk hadir ke kesekolah padahal hal yang demikian itu untuk menjadikan anak mereka agar bisa berubah ke hal yang lebih positif dan menjadi seorang yang memilki ilmu yang baik untuk masa depan. Bahkan ada orang tua yang mengatakan bahwa tidak mau dan tidak sangup lagi untuk mendididk anak mereka, seharusnya sebagai orang tua, mereka harus bisa bekerja sama dengan sekolah atau guru.

Namun ketika seorang siswa melakukan kesalahan atau tidak mentaati praturan sekolah, ada siswa laki-laki yang rabutnya terlalu panjang, kemudian guru memotong rabut siswa orang tua tidak terima dan menganggap guru terlalu lancang.  Padahal masalah dan persoalan yang terkait ketertiban, kenakalan serta upaya seorang guru untuk mendisiplinkan yang dilakukan siswa di sekolah seharusnya mendapat dukungan dari orang tua, tidak seharusnya masuk ke urusan pidana.  Kalaupun orang tua tidak setuju dengan cara guru dalam mendidik siswanya seharusnya bisa di selesaikan di sekolah dan tidak harus di kantor polisi apalagi di kantor pengadilan. Akhir-akhir ini banyak sekali kasus-kasus dimana guru yang harus berhadapan dengan hukum dikarenakan menugur siswa yang melakukan kesalahan.

Seperti kasus yang di hadapi  oleh seorang guru honrer di SD Negeri 4 Baito yang bernama Supriyani di laporkan oleh orang tua murid Wibowo Hasyim yang berstatus polisi yang berpangkat ajun inspektur dua ke polsek Boito. Orang tua murid tersebut menuduh guru honorer di SD Negeri 4 Baito, memukul paha anaknya dengan sapu ijuk pada 24 April 2024. Supriyani beserta guru yang lain di sekolah tersebut sudah berulang kali mebantah tuduhan yang dilontarkan kepadanya, baik kepada pers maupun majelis hakim. Sesuai dengan Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Praturan ini menjelaskan tentang bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan dala upaya melindungi pendidik dan tenaga kependidikan yang menghadapi perasalahan terkait pelaksanaan tugas.

Perlindungan yang dimaksud meliputi empat hal, yaitu (1) perlindungan hukum, profesi, keselamatan dan kesehatan kerja, dan/atau hak atas kekayaan intelektual. (2) Perlindungan hukum meliputi perlindungan dari tindak kekerasaan, ancaman, perlakuan deskriminatif, intimidasi, dan/atau perlakuan tidak adil. (3) Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap peutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan praturan perundang- undangan, peberian ibalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyapaikan pandangan, pelecahan terhadap profesi dan/atau, pebatasan atau pelanggaran lain yang dapat menghambat pendidikan dan tenaga kependidikan dalam elaksanakan tugas. Kalau dilihat dari Permendikbud nomor 10 Tahun 2017 di point ke dua, seharusnya kasus ibu supriyani mendapat perlindungan hukum. Karena bu supriyani mendapat intimidasi dan/atau perlakuan tidak adil.

Banyak sekali pristiwa dan kejadian yang dirasakan dan dihadapi oleh seorang guru dalam mendidik serta memberi ilmu yang begitu luar biasa kapada murid akan tetapi, tidak bisa di terima dengan baik oleh siswa bahkan orang tua siswa. Seorang guru punya kewenangan dalam menilai proses yang dilakukan oleh siswa disekolah baik nilai akademik maupun nilai karekter yang ditunjukan oleh siswa dalam proses pembelajaran di sekolah.

Sesuai Praturan  Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Repoblik Indonesia Nomor 21 Tahun 2022. Tentang standar Penilaian Pendidikan pada Pendididkan anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang pendidikan Menengah.

Pasal 2

 (1) Penilaian hasil belajar Peserta Didik dilakukan sesuai dengan tujuan Penilaian secara        berkeadilan, objektif, dan edukatif.

(2) Penilaian hasil belajar secara berkeadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penilaian yang tidak bias oleh latar belakang, identitas, atau kebutuhan khusus Peserta Didik.

(3) Penilaian hasil belajar secara objektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penilaian yang didasarkan pada informasi faktual atas pencapaian perkembangan atau hasil belajar Peserta Didik.

(4) Penilaian hasil belajar secara edukatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penilaian yang hasilnya digunakan sebagai umpan balik bagi Pendidik, Peserta Didik, dan orang tua untuk meningkatkan proses pembelajaran dan hasil belajar.

Sebagai seorang guru harus memberi penilaian yang berkeadilan, objektif, dan edukatif yaitu sesuai dengan pasal 2 ayat 3 butir pertama. Dimana seorang guru harus memberi nilai didasarkan pada informasi faktual, artinya memberi nilai harus sesuai dengan proses yang dilakukan oleh siswa dalam proses pembelajran yang dilakukan dikelas atau disekloah. Akan tetapi kadang kala kita sebagai seorang guru harus memberi penilaian yang bertentangan dengan hati, baik nilai secara akademik maupun nilai karekter. Dimana kita harus memberi nilai yang bagus  dan nilai karekter yang baik namun pada dasrnya siswa tersebut tidak berhak menerima nilai yang bagus dan baik. Hal yang demikian inilah yang menjadikan delema bagi seorang guru disisi lan harus memberi nilai yang bagus namun disisi lain siswa tidak melakukan proses yang berhak untuk mendapatkan nilai yang baik.

 

 Foto diambil dari https://projectmultatuli.org/