PENDIDIKAN KITA SEDANG TIDAK BAIK-BAIK SAJA
Pendidikan merupakan bagian dari sebuah hak azazi
manusia. Negara Indonesia, selanjutnya disebut negara, melindungi hak setiap
orang untuk mendapatkan Pendidikan. Bahkan, negara pun memaksa warganya untuk
mengimplementasikan hak tersebut.
Oleh karena itu, negara wajib menyiapkan segala hal
yang terkait dengan penyelenggaraan Pendidikan. Apa saja? Ada berbagai macam
hal yang harus disiapkan oleh negara dalam rangka memenuhi kewajiban dan sekaligus
hak warganya untuk mengeyam Pendidikan. Mulai dari kebijakan, akses, sampai
dengan penyediaan sumber daya manusia yang terlibat dalam Pendidikan.
Pada aspek kebijakan, ada beberapa tugas dan tanggung
jawab negara dalam penyelenggaraan Pendidikan, seperti kebijakan dalam bidang
kurikulum, pembiayaan pendidikan. Komponen kedua adalah akses Pendidikan yang
erat kaitannya dengan penyediaan fasilitas sarana Pendidikan melalui program
pembangunan sekolah dan penyediaan sarana penunjang. Komponen ketiga adalah
penyediaan sumber daya manusia Pendidikan yakni terkait dengan penyediaan guru
dan distribusinya, serta program pengembangan kompetensi GTK.
Lantas, apa saja masalah Pendidikan yang ada saat ini?
Dikaji dari berbagai sumber data dan informasi, maupun isu-isu yang berkembang,
ada aspek-aspek penting yang masih menjadi kelemahan Pendidikan negara kita. Secara
garis besar, isu atau masalah Pendidikan mencakup komponen besar; ranah
kebijakan, kualitas guru, mutu siswa atau lulusan, dan sarana Pendidikan.
Pertama, kebijakan yang terkait dengan kurikulum. Kurikulum menjadi garis besar
atau pedoman penyelenggaraan Pendidikan secara nasional. Misalnya yang berlaku
saat ini adalah Kurikulum Merdeka. Setiap satuan Pendidikan dasar maupun
Pendidikan menengah wajib mengimplementasi kurikulum merdeka. Perubahan kurikulum
yang dinamis terkadang memusingkan para pelaksana program di level bawah. Sebut
saja guru dan kepala sekolah. Perubahan kurikulum menuntut dua unsur ini harus
mampu menyesuaikan diri. Walaupun dalam kondisi siswa dan sarana sekolah tidak sedinamis
kurikulum.
Kedua, kebijakan terkait dengan pembiayaan Pendidikan. Pembiayaan Pendidikan
sangat vital kaitannya dengan penyelenggaraan Pendidikan. Alokasi pembiayaan
Pendidikan bagi satuan Pendidikan (baca: alokasi BOSP) saat ini ditentukan
berdasarkan cut off keadaan siswa pada setiap sekolah pada aplikasi Data
POkok Pendidikan (DAPODIK). Pada level daerah, pemerintah provinsi maupun
pemerintah kabupaten/kota pun mengalokasikan bantuan dana operasional
Pendidikan bagi satuan Pendidikan.
Ketiga, Kebijakan selanjutnya adalah yang terkait dengan alat atau media
penyelenggaraan Pendidikan, misalnya platform Pendidikan yang saat ini menjadi
tren. Ada PMM, Dapodik, SIplah, dan platform-platform popular lainnya. Kebijakan
yang terkait dengan kurikulum maupun kebijakan pembiayaan idealnya digunakan
untuk meminimalisasi terjadinya ketimpangan Pendidikan pada setiap satuan
Pendidikan maupun antar daerah. Tetapi, sayangnya kita seringkali masih
menemukan adanya ketimpangan Pendidikan antar satuan Pendidikan.
Keempat adalah akses Pendidikan. Akses Pendidikan yang paling utama adalah ada
tidaknya satuan Pendidikan di wilayah tertentu. Tidak jarang ditemui masih ada
beberapa wilayah atau pemukiman yang belum tersentuh pembangunan satuan
Pendidikan. Sehingga berimplikasi pada semakin terisolasinya perkembangan
wilayah tersebut. Masyarakat yang ingin mendapatkan Pendidikan harus rela
berangkat ke kampung sebelah terdekat yang ada stauan pendidikannya. Selain
itu, penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran pokok maupun sarana penunjang
pun sering terjadi ketimpangan fasilitas satu dengan yang lainnya. Dengan kata
lain, tidak adanya pemerataan sarana dan prasarana Pendidikan baik kualitas
maupun kuantitas.
Kelima adalah penyediaan sumber daya manusia Pendidikan. Salah satu isu populer
seperti distribusi guru dan tenaga kependidikan pada wilayah dan satuan
Pendidikan tertentu yang tidak merata, khususnya daerah 3T. Sering kali ditemui
adanya kekurangan guru akibat dari kebijakan mutasi yang tidak mengedepankan
kajian atau analisis kebutuha. Dalih terbesar yang sering terjadi adalah
penyelesaian masalah. Padahal kenyataannya adalah memindahkan masalah
kekurangan guru di sekolah A ke sekolah B yang ditinggal mutasi.
Keenam, berikutnya adalah program pengembangan SDM Guru dan Tenaga Kependidikan
kurang masif dilaksanakan. Kegiatan pengembangan GTK masih terbatas pada
wilayah dan individu tertentu saja, belum mampu menjangkau seluruh guru. Ya,
walaupun saat ini sudah disediakan platform pengembangan kompetensi seperti
PMM. Tetapi, kenyataannya tidak semua guru mau dan mampu memanfaatkan fasilitas
ini.
Hal ini sedikit banyak berpengaruh terhadap kompetensi
guru terhadap pelaksanaan pembelajaran di kelas. Guru yang aktif melakukan
pengembangan kompetensi mengajar akan mampu memberikan layanan pendidikan
secara baik. Sebaliknya, guru yang bermalas-malasan atau yang under qualify atau
gagap teknologi akan ketinggalan informasi. Akibatnya kemampuan mengajar tidak
mengalami perkembangan.
Namun, dibalik semua isu di atas. Ada hal yang sangat urgent
dan perlu perhatian kuat dari kalangan guru dan kepala sekolah. Hal-hal ini
akan berdampak sangat jelek jika dibiarkan.
Pertama, Kemajuan teknologi. Satu sisi kemajuan teknologi memberikan kemudahan
kepada siapa saja untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Tidak terkecuali para
siswa. Kemajuan teknologi dan informasi membuka ruang informasi yang luas
sehingga memudahkan siswa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Tetapi, pada satu
sisi lainnya kemajuan teknologi memberikan efek domino yang berakibat fatal bagi
perkembangan pola pikir para pelajar. Kondisi berbanding terbalik dengan adanya
program pemerintah untuk meningkatkan daya literasi dan numerasi siswa. Dimana
literasi dan numerasi menuntut siswa terampil berpikir memecahkan masalah
berbasis informasi maupun data-data.
Sebagai contoh pemanfaatan teknologi Artificial
Intelligence (AI) pada pembelajaran memberikan kemudahan bagi siswa dalam
mengerjakan tugas atau materi apapun. Tetapi, kemudahan ini punya efek jelek
terhadap rasa malas para siswa untuk berpikir. Tidak ada proses membaca dan
berpikir untuk memecahkan masalah yang ditemui. Teknologi AI ini memanjakan
para siswa tidak perlu berpikir keras untuk memecahkan masalah. Kondisi ini
akan menjadi kebiasaan dan dikhawatirkan menjadi budaya.
Kedua, terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Pada PP ini mengatur tentang layanan kesehatan reproduksi remaja. Namun, ada
kontropersi pada PP tersebut, yakni pada Pasal 101 ayat 1 yang memerintahkan satuan
Pendidikan untuk menyiapkan alat kontrasepsi bagi siswa di sekolah. Peraturan
ini berdalih untuk memberikan akses layanan Kesehatan reproduksi bagi remaja
usia subur.
Aturan ini sangat bertentangan dengan naluri
Pendidikan. Dimana guru mendidik anak-anak agar terhindar dari pergaulan bebas.
Guru melalui Pendidikan karakter mendidik anak-anak untuk menjaga diri untuk
tidak melakukan hal-hal di luar norma agama maupun norma sosial. Tetapi, aturan
tersebut seolah memberi peluang kepada remaja usia sekolah untuk melakukan
pergaulan bebas.
Pada kondisi seperti Guru-lah yang menjadi garda
terdepan dalam menanggulangi dua isu di atas. Guru, melalui kegiatan
pembelajaran maupun penguatan karakter di kelas harus mampu memberikan
pembelajaran dan pendidikan yang komprehensif dan utuh.
Wallahu a’lam
Sumber foto: perpustakaan-supmtegal.com